Karanganyar, TribunCakranews.com — Ketidakhadiran saksi Juliyatmono dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Masjid Agung Karanganyar menuai kecaman keras. Organisasi Kemasyarakatan Barisan Indonesia (Barindo) Kabupaten Karanganyar menilai sikap mangkirnya saksi kunci tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum dan pelecehan terhadap proses peradilan.
Dalam sidang lanjutan yang digelar Selasa, 16 Desember 2025, Juliyatmono kembali tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah oleh pengadilan. Ini merupakan kali kedua yang bersangkutan mangkir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pengurus Barindo Karanganyar, Tukino Muhadi, menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak boleh ragu dan tidak boleh tunduk pada kekuasaan maupun status jabatan seseorang.
“Kalau sudah dua kali dipanggil secara sah lalu tidak hadir, ini bukan lagi kelalaian, tapi pembangkangan. Negara tidak boleh kalah, apalagi ini perkara korupsi,” tegas Tukino.
Barindo secara tegas mendesak Kejaksaan Negeri Karanganyar dan majelis hakim agar segera menjalankan hukum acara pidana secara konsekuen dengan menerbitkan perintah pemanggilan paksa terhadap Juliyatmono. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara jelas memberi kewenangan kepada hakim ketua sidang untuk memerintahkan menghadirkan saksi secara paksa apabila dua kali mangkir tanpa alasan sah.
Menurut Barindo, pembiaran terhadap saksi yang tidak kooperatif akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, sekaligus menimbulkan kecurigaan publik bahwa hukum masih tumpul ke atas.
Tidak hanya itu, Barindo juga mengingatkan adanya ancaman pidana bagi saksi yang sengaja menghindari kewajiban hukum. Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur sanksi pidana penjara bagi siapa pun yang dipanggil sebagai saksi namun dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya.
Lebih serius lagi, Barindo menyoroti dugaan aliran dana hasil korupsi pembangunan Masjid Agung Karanganyar yang disebut mengalir kepada Juliyatmono, yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar periode 2013–2023. Fakta tersebut dinilai cukup untuk menjadi alarm keras bagi Jaksa Penuntut Umum dan majelis hakim.
“Kalau ada dugaan aliran dana dan sikap tidak kooperatif di persidangan, maka wajar jika publik menuntut peningkatan status hukum. Saksi bisa berubah menjadi tersangka,” ujar Tukino.
Barindo menegaskan bahwa perkara ini adalah ujian nyata bagi keberanian aparat penegak hukum di Karanganyar. Penanganan yang lemah dinilai hanya akan memperkuat anggapan bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
“Masjid Agung dibangun dari uang publik. Keadilan juga harus ditegakkan untuk publik. Jangan ada perlakuan istimewa,” pungkasnya.
Khnza Haryati


