Reformasi Internal Polri Dinilai Gagal Total, Warga Makassar Bongkar Sindikat Mafia Tanah dan Oknum Polisi

Makassar, Tribuncakranews.com — 23/10/2025. Rasa keadilan kembali diuji di Kota Makassar. Seorang warga bernama Ishak Hamzah mengaku menjadi korban dugaan kriminalisasi hukum oleh sejumlah oknum Polrestabes Makassar dan Polda Sulawesi Selatan. Ia menuding tindakan yang dialaminya merupakan bagian dari jaringan mafia hukum dan mafia tanah yang telah lama beroperasi dan diduga dilindungi oleh oknum aparat penegak hukum.

Dalam pernyataannya, Ishak Hamzah menyampaikan kekecewaannya terhadap proses hukum yang dialaminya. Ia sempat dijadikan tersangka dan bahkan menjalani penahanan selama 58 hari, sebelum akhirnya putusan praperadilan menyatakan seluruh proses hukum yang dilakukan terhadapnya tidak sah dan batal demi hukum.

“Saya memiliki putusan praperadilan yang menyatakan semua proses hukum terkait dijadikannya saya sebagai tersangka hingga sampai ditahan badan, semuanya dibatalkan oleh putusan praperadilan,” ujar Ishak Hamzah.

Menurut Ishak, sejak awal ia telah berulang kali menyampaikan keberatan dan permohonan klarifikasi kepada penyidik maupun atasan di tingkat Polrestabes Makassar dan Polda Sulsel. Namun semua aduannya tak pernah ditanggapi serius. Ia menilai, hal itu mencerminkan rendahnya integritas dan tanggung jawab moral aparat dalam menjalankan prinsip Tribrata dan Catur Prasetya.

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan secara lisan dan tertulis kepada penyidik maupun pimpinan mereka. Tapi semuanya diam, seolah tidak punya rasa tanggung jawab. Setelah ada putusan praperadilan, barulah mereka kebingungan dan keteteran,” ujarnya.

Perjalanan hukum Ishak bermula ketika ia tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang disebutnya rekayasa hukum oleh pihak-pihak yang ingin merebut hak tanah miliknya. Ia menyebut penetapan tersangka dan penahanannya dilakukan tanpa dasar yang jelas dan melanggar prosedur hukum acara pidana.

Selama 58 hari ditahan, Ishak mengaku mengalami tekanan psikologis berat. Reputasi dan nama baiknya hancur akibat pemberitaan dan stigma sosial. Namun setelah perjuangan panjang, ia akhirnya memenangkan gugatan praperadilan yang membatalkan seluruh proses hukum terhadapnya.

“Putusan praperadilan itu membuktikan kalau saya benar-benar dikriminalisasi. Tapi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian moral dan harkat martabat saya selama ditahan tanpa dasar hukum yang sah?” ujarnya dengan suara bergetar.

Ishak bersama kuasa hukumnya menuntut agar seluruh oknum kepolisian yang terlibat, baik di tingkat penyidik Polrestabes Makassar maupun Polda Sulsel, diberikan sanksi tegas berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Sebagai contoh, ia menyoroti keputusan sanksi etik terhadap Aiptu Marzuki (NRP 74040397) dari Unit Reskrim Polsek Tamalate, yang dinilai terlalu ringan.

“Saya sangat kecewa dengan keputusan itu. Sanksinya terlalu ringan. Padahal dia seharusnya direkomendasikan untuk PTDH. Ini bukan kesalahan kecil, tapi kejahatan yang merampas hak asasi saya,” ujarnya usai menghadiri sidang kode etik di Polrestabes Makassar, Rabu (22/10/2025).

Sidang tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Komisi Kode Etik Polri Polrestabes Makassar Nomor: 108-9/Huk.4/2025 tertanggal 19 September 2025 serta surat tuduhan S.KN/08/X/2025/Propam.

Dalam pemeriksaan, Aiptu Marzuki disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 7 huruf c, dan Pasal 7 huruf e Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

Ishak menduga kuat kasus yang menimpanya merupakan bagian dari kerja sama sistematis antara oknum aparat dan pihak-pihak berkepentingan di sektor pertanahan. Ia menyebut jaringan ini sebagai “sindikat korporasi mafia hukum” yang beroperasi dengan rapi, memanfaatkan kekuasaan aparat untuk menekan warga dan menguasai lahan sengketa.

“Saya melihat ini bukan sekadar salah tangkap atau salah prosedur. Ada sistem yang bekerja, ada jaringan yang bermain. Mereka memakai seragam hukum untuk menindas masyarakat kecil,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Ishak juga menyinggung konsep Presisi Polri (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Menurutnya, semangat reformasi internal Polri itu gagal total di lapangan.

“Presisi seharusnya bukan slogan kosong. Tapi kenyataannya, justru banyak oknum di lapangan yang menjadikan hukum sebagai alat menindas,” ujarnya getir.

Ishak berharap Kapolri dan Propam Mabes Polri turun tangan menelusuri dugaan pelanggaran ini, serta meminta Kompolnas dan Komnas HAM ikut mengawasi prosesnya demi menjamin keadilan.

Setelah memenangkan praperadilan, Ishak berencana menuntut ganti rugi dan pemulihan nama baiknya, serta melaporkan balik oknum-oknum yang diduga melanggar prosedur dan HAM berat selama proses penahanan berlangsung.

“Saya akan melapor balik. Saya ingin negara hadir. Saya ingin keadilan ditegakkan, bukan hanya untuk saya, tapi untuk semua warga yang jadi korban kesewenang-wenangan aparat,” tegasnya.

Kasus Ishak Hamzah menjadi cermin kegagalan reformasi internal Polri dalam menegakkan keadilan. Selama oknum aparat masih menyalahgunakan kewenangan dan terlibat dalam mafia hukum, kepercayaan publik terhadap Polri akan terus menurun.

“Polisi seharusnya melindungi rakyat, bukan menjadi alat korporasi yang menindas rakyat kecil,” pungkas Ishak. Marno

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama