Membongkar “Filsafat Bunga” dalam Pemerintahan Daerah

# MBAH WASIS # HADI JOYO CAKTI 234/NK - SI MACAN PUTIH #
(Satire Politik: Ketika Uang Rakyat Dipaksa Bertapa di Bank)

Cilacap, Tribuncakranews.com // Pernah dengar alasan klasik, “Dana pusat belum turun”? Atau proyek yang baru digeber menjelang akhir tahun seolah semua pembangunan punya zodiac Desember? Di balik semua itu, ada praktik yang jarang dibahas tapi sering terjadi: dana daerah sengaja diendapkan di bank supaya memetik bunga. 30/11/2025

Uangnya bukan tidak ada—uang itu ada, cuma sedang disuruh retret spiritual di rekening kas umum daerah, biasanya di bank pembangunan daerah. Sementara rakyat menunggu jalan diperbaiki, anggaran malah sibuk bermeditasi menghasilkan bunga.

Secara prosedur, alurnya suci: Kemenkeu lewat KPPN menyalurkan Transfer Keuangan Daerah (TKD) ke rekening kas daerah. Setelah itu dana menjadi bagian APBD. Di titik ini, uang publik mulai “belajar tidur nyenyak sambil beranak bunga”.

Dan di sinilah babak ajaib dimulai.

Secara hukum, bunga bank adalah hak kas daerah.

Secara moral, mestinya begitu juga.

Namun dalam politik lokal, moral sudah lama pensiun. Lahir istilah “optimalisasi aset”—sebuah eufemisme halus untuk hal yang kadang beda total dengan maknanya. Ada bunga yang resmi dicatat, ada yang raib seperti asap sate di angin sore.

BPK di beberapa daerah bahkan pernah menemukan: bunga deposito APBD tak dicatat, selisih bunga tak jelas ke mana, dana mengendap miliaran rupiah tanpa alasan operasional yang masuk akal.

Semua ini tentu belum membuktikan korupsi personal, tapi pola sistemiknya terlihat: semakin lama uang tidur di bank, semakin besar bunganya. Siapa yang menikmati? Jawabannya sering menguap bersama berita konferensi pers.

Lalu muncullah ironi:

Pemerintah pusat baru saja menaikkan gaji ASN lewat Perpres, tapi di beberapa daerah dananya belum cair. Alasannya bermacam-macam, tapi salah satu penyebabnya sederhana: uangnya masih dipelihara di bank—beranak bunga—sementara pegawai menunggu kepastian.

Di sisi lain, rakyat tetap antre panjang di puskesmas, sekolah tetap bocor, jembatan tetap rapuh. Ketika uang rakyat sibuk berkembang biak, pelayanan publik malah kering kerontang.

Bank di mana-mana bekerja dengan logika yang sama: setiap simpanan ada bunganya. Sering muncul opini publik seperti:

“Kalau pejabat naruh Rp1 triliun, daerah dapat 5%, pejabat dapat 0,5% komisi.”

Atau: “Kalau negara pinjam ke lembaga internasional, ada selisih bunga yang jadi jatah oknum.”

Narasi-narasi seperti ini memang berkembang di masyarakat. Tapi penting digarisbawahi: itu opini publik, bukan fakta hukum. Yang pasti, mekanismenya rawan penyimpangan jika pengawasan lemah.

Dan di situlah masalah utamanya: celah sistem, bukan hanya oknum.

Begitulah filosofi bunga versi birokrasi: uang rakyat boleh tidur sepanjang tahun, asal bangunnya membawa bunga—meski tak pernah jelas siapa yang memetiknya. 

- (Mbah Wasis) -

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama

IKLAN/ADV

www.tribuncakranews.com

Breaking News