SUBANG, TRIBUNCAKRANEWS.COM – Perseteruan hukum antara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Heri Sopandi, yang melaporkan dugaan pencemaran nama baik, dan Dr. Maxi sebagai whistleblower dugaan setoran gratifikasi, dinilai telah merugikan citra daerah dan mengganggu stabilitas birokrasi.
Menyikapi polemik yang kini menjadi sorotan nasional, Anggung Jatmiko, Sekretaris Jenderal Forum Pemerhati Kebijakan Publik (FPKP) Kabupaten Subang, menegaskan bahwa konflik yang kini menjadi bola liar di Aparat Penegak Hukum (APH) ini adalah cerminan kegagalan komunikasi dan kesalahpahaman pejabat dalam menyikapi kritik. FPKP, yang dipimpin oleh Aif Saefulrohman, mendesak agar masalah ini segera diselesaikan melalui jalur islah.
Solusi Sederhana: Duduk Bareng, Bukan Saling Menyerang Emosi
Anggung Jatmiko menyayangkan masalah yang ia anggap "sederhana" ini kini berlarut-larut hingga melibatkan APH dan menjadi perbincangan berita nasional. Ia menilai, inti dari konflik, yang menyangkut kebijakan rotasi mutasi, pemerasan, dan gratifikasi, bisa diakhiri dengan mediasi.
"Sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan dengan duduk bareng... Tidak harus memblow up. Bukan saling sambut menyerang dengan emosi mengadukan ke polisi, terlebih sampai melaporkan wartawan dengan alasan pencemaran nama baik," ujar Anggung Jatmiko.
Ia menegaskan bahwa langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pimpinan daerah—yaitu Bupati Reynaldi—adalah memanggil kedua ASN tersebut (Dr. Maxi dan Heri Sopandi) untuk menyelesaikan masalah secara internal di awal.
"Bukan memberikan pernyataan yang semakin panas buat gaduh masyarakat. Saya kira kalau [konflik] ini ditangani dengan duduk bersama, bisa diselesaikan dengan baik dan ada solusi yang terbaik," tambahnya.
Anggung Jatmiko mengkhawatirkan bahwa dengan konflik yang sudah masuk ke ranah hukum, masing-masing pihak kini hanya akan fokus pada pembenaran diri. Akibatnya, substansi masalah utama (gratifikasi, pemerasan, penyalahgunaan jabatan, dan kebijakan bobrok) menjadi terabaikan.
Kritik adalah Vitamin, Bukan Kerugian Pribadi
FPKP Subang menyoroti bahwa yang dikritisi dalam masalah ini adalah kebijakan publik, bukan urusan pribadi semata. Anggung Jatmiko memperingatkan agar pejabat publik menghentikan praktik menyikapi kritik sebagai serangan personal yang berujung pada laporan pidana pencemaran nama baik.
"Bahwa yang namanya kritik itu adalah vitamin sebetulnya yang memang untuk membangun," tegas Anggung Jatmiko. "Kritik itu kalau kita filosofi, adalah salah satu memberikan satu masukan yang sifatnya tajam... bukan berarti dicerna bahwa kritik itu sesuatu yang mengakibatkan suatu kerugian pribadi."
Anggung Jatmiko mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah berulang kali menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik tidak dapat dipidana. Pejabat publik harus memahami secara tegas bahwa yang dikritik adalah kebijakan dan jabatan, bukan pribadinya.
Desak Mediasi: Lindungi Status ASN dan Hindari Terbongkarnya "Aib-Aib" Lain
Anggung Jatmiko juga menyoroti kejanggalan hukum terkait status Dr. Maxi yang secara de jure masih sebagai ASN karena surat pengunduran dirinya belum diproses tuntas oleh instansi terkait. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pimpinan daerah untuk melakukan pembinaan.
"Seharusnya kan dibangun dua-duanya duduk bareng gini loh, ada apa gini loh. Kita selesaikan dengan sederhana," katanya.
Anggung Jatmiko mendesak semua pihak, terutama pimpinan daerah, untuk segera melakukan mediasi (ishlah) sebelum masalah ini semakin meluas dan "aib-aib yang sebelumnya ditutup" justru terbongkar semua, yang pada akhirnya akan mengganggu fokus pembangunan Kabupaten Subang yang lebih luas. Nopian


