Perkara yang sempat menyeret nama sejumlah guru dan siswa SMA Negeri 11 Semarang itu dikabarkan telah ditutup, tanpa adanya keterangan resmi dari pihak berwenang.
Informasi tersebut terungkap saat wartawan berupaya mengonfirmasi langsung ke pihak sekolah pada Jumat (17/10/2025). Wartawan yang datang sekitar pukul 11.30 WIB sempat menunggu lama sebelum akhirnya ditemui oleh pihak sekolah.
Seorang guru kemudian mengarahkan wartawan menuju ruang Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Tak lama kemudian, muncul M. Noor Wachid Affandi, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 11 Semarang.
Ia menyampaikan bahwa pihak sekolah telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
“Pak Kustri bilang kasus ini sudah ditutup. Silakan konfirmasi langsung ke dinas, karena sekolah sudah menyerahkan sepenuhnya ke sana,” ujar Affan, sapaan akrabnya.
Yang dimaksud “Pak Kustri” adalah Kustrisaptono, Kepala Bidang Pembinaan SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Namun, saat dihubungi melalui telepon maupun pesan WhatsApp, Kustrisaptono belum memberikan tanggapan hingga berita ini ditulis.
Konfirmasi juga dilakukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Sadimin, yang saat itu mengaku sedang berada di luar kota. Begitu mengetahui topik konfirmasi berkaitan dengan kasus Chiko, ia mengarahkan agar pertanyaan disampaikan kepada bawahannya.
Sumber internal sekolah menyebutkan, suasana ketakutan kini menyelimuti lingkungan SMA Negeri 11 Semarang. Sejumlah guru dan siswa yang merasa menjadi korban memilih diam karena takut berbicara.
“Kami takut, Mas. Nggak mau ikut-ikut, nanti malah kena masalah,” ujar salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Rasa takut itu diduga muncul karena Chiko merupakan anak seorang anggota kepolisian di Polrestabes Semarang. Status keluarga tersebut disebut menimbulkan tekanan psikologis terhadap para korban dan pihak sekolah, sehingga banyak yang memilih bungkam dan tidak melanjutkan proses hukum.
Beberapa guru yang enggan disebut namanya menyayangkan sikap pihak berwenang yang belum memberikan kejelasan hukum. Mereka berharap kasus ini tetap dilanjutkan demi rasa keadilan di lingkungan pendidikan.
“Kalau pelaku punya latar belakang aparat, justru harus transparan agar publik tidak kehilangan kepercayaan,” ujar salah satu guru.
Sejumlah korban dan wali murid kini berharap ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bersedia memberikan pendampingan agar mereka dapat mencari keadilan tanpa rasa takut.
“Kami butuh perlindungan, tapi siapa yang berani bantu?” ungkap salah satu orang tua korban dengan nada cemas.
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar tentang kesetaraan hukum di Indonesia. Ketika pelaku berasal dari keluarga aparat, keadilan seolah menjadi barang langka. Di balik gedung sekolah yang tampak tenang, rasa takut masih membungkam kebenaran di SMA Negeri 11 Semarang. WaN (*)

