TRIBUNCKRANEWS.COM, PURWOKERTO - Di tengah geliat pembangunan dan semakin ramainya hotel-hotel baru di Kota Purwokerto, terselip dugaan praktik bisnis gelap yang mulai marak: prostitusi terselubung berbasis aplikasi daring.
Isu ini menyeruak setelah muncul kabar bahwa sejumlah perempuan, yang sebelumnya menghuni kawasan eks lokalisasi Gang Sadar Baturraden, kini diduga beralih beroperasi di sejumlah hotel kota, salah satunya Hotel Mukti Jaya yang terletak di Jalan Gerilya Timur, tepat di depan Pengadilan Negeri Purwokerto.
Penutupan lokalisasi Gang Sadar beberapa tahun lalu semula diharapkan mengakhiri praktik prostitusi di Banyumas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pola baru: transaksi tidak lagi dilakukan secara terbuka, melainkan melalui aplikasi pesan instan seperti MiChat.
Aplikasi ini disebut-sebut menjadi penghubung antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Setelah sepakat di ruang chat, pertemuan kemudian berlangsung di hotel-hotel yang disewa secara harian maupun bulanan.
Pada Kamis (16/9/2025) sekitar pukul 09.45 WIB, tim Juranews.Id mencoba menelusuri kebenaran isu tersebut. Dari pantauan di lapangan, aktivitas di sekitar Hotel Mukti Jaya tampak normal. Namun, beberapa pengunjung keluar masuk dalam waktu singkat menimbulkan tanda tanya di kalangan warga sekitar.
Seorang sumber internal hotel yang meminta namanya dirahasiakan mengakui adanya penyewa kamar tetap yang diduga melakukan aktivitas mencurigakan.
“Memang ada beberapa kamar yang disewa perempuan secara bulanan. Tapi transaksi mereka lewat aplikasi, bukan urusan pihak hotel. Kami juga tidak boleh membantu tamu yang mencari layanan seperti itu. Semua dilakukan pribadi lewat MiChat,” tambahnya.
Saat tim redaksi berupaya meminta konfirmasi kepada pihak manajemen hotel, hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban resmi. Namun, dari keterangan sumber lain di lingkungan hotel, pengawasan terhadap aktivitas tamu di kamar masih sangat terbatas.
“Selama tamu membayar dan tidak membuat keributan, kami tidak bisa melarang,” ujar salah seorang petugas resepsionis yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena ini memperlihatkan celah pengawasan pada industri perhotelan di Purwokerto. Pihak hotel kerap berdalih bahwa mereka hanya menyediakan fasilitas penginapan, bukan mengatur aktivitas tamu di dalam kamar.
Praktik prostitusi berbasis aplikasi ini adalah bentuk adaptasi dari penutupan lokalisasi tanpa solusi sosial yang menyeluruh. Ketika lokalisasi ditutup tanpa ada pembinaan atau alternatif ekonomi, para pekerja seks akan mencari cara lain. Sekarang mereka memanfaatkan teknologi.
Ia menambahkan, praktik seperti ini berisiko melibatkan eksploitasi perempuan dan anak di bawah umur. “Karena tak ada pengawasan langsung, sulit memastikan apakah semua pelaku adalah orang dewasa yang sadar dan tidak dipaksa,” katanya.
Sejumlah warga di sekitar hotel juga mengaku resah dengan dugaan aktivitas yang terjadi di malam hari.
“Kalau malam sering ramai. Tamu datang bergantian, ada yang cuma sebentar. Tapi kami tidak tahu pasti kegiatan mereka,” tutur seorang warga yang tinggal di sekitar lokasi.
Mereka berharap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera turun tangan agar lingkungan sekitar hotel tidak menjadi citra buruk bagi kawasan tersebut.
Sejumlah pihak mendesak agar Satpol PP, Dinas Pariwisata, dan Kepolisian melakukan penyelidikan terpadu terhadap hotel-hotel yang disinyalir menjadi tempat transaksi prostitusi terselubung.
Fenomena prostitusi daring di Purwokerto menunjukkan bahwa bisnis ini tidak lagi bergantung pada tempat, melainkan pada teknologi dan jaringan komunikasi yang sulit diawasi.
Tanpa langkah tegas dan sistem pengawasan yang efektif, bisnis gelap ini dikhawatirkan akan terus tumbuh di balik gemerlapnya pembangunan kota. Sugiman (*)

