Garut, Tribuncakranews.com — Wacana pengalokasian Biaya Penunjang Operasional (BPO) bagi Bupati Garut memantik perdebatan di tengah publik. Meskipun secara hukum kebijakan tersebut memiliki dasar yang sah, sejumlah pihak menilai perlunya kehati-hatian dalam penerapannya agar tidak menimbulkan kesan berjarak dengan kondisi sosial masyarakat.
Lembaga riset kebijakan Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS) menilai, kebijakan fiskal semacam ini seharusnya ditempatkan dalam kerangka akuntabilitas publik dan keadilan fiskal. Direktur GIPS, Ade Sudrajat, menyatakan bahwa kepatuhan terhadap aturan bukan satu-satunya ukuran kebijakan publik yang baik.
“Secara normatif, alokasi BPO memang diatur dalam PP Nomor 109 Tahun 2000 dan PP Nomor 59 Tahun 2000. Namun, kepatuhan hukum harus berjalan seiring dengan pertimbangan moral, sosial, dan transparansi penggunaan anggaran,” kata Ade saat dihubungi di Garut, Senin (7/10/2025).
Kepatuhan Formal dan Kelayakan Sosial
Berdasarkan perhitungan GIPS, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Garut tahun 2024 mencapai sekitar Rp 538 miliar, batas maksimal BPO sebesar 0,15 persen berarti sekitar Rp 807 juta per tahun.
Secara hukum, besaran itu masih dalam koridor yang diperbolehkan. Namun, GIPS mengingatkan agar Pemkab Garut membuka secara rinci peruntukan dan pelaporan penggunaan dana tersebut.
“Masyarakat berhak mengetahui untuk apa dana itu digunakan. Selama tidak ada transparansi, publik akan mudah berasumsi bahwa BPO hanya menjadi fasilitas tambahan pejabat, bukan sarana kerja strategis,” ujar Ade.
Ia menegaskan, pemaknaan terhadap BPO harus dikembalikan pada tujuan awalnya, yaitu menunjang tugas-tugas kepala daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Dimensi Politik dan Persepsi Publik
Secara politik, GIPS menilai bahwa besaran BPO mencerminkan arah kebijakan fiskal sekaligus nilai kepemimpinan daerah.
Ade menuturkan, pengambilan keputusan di sektor keuangan publik bukan hanya soal kemampuan fiskal, tetapi juga cerminan keberpihakan.
“Politik anggaran selalu berbicara tentang pilihan moral. Di tengah keterbatasan fiskal daerah dan masih tingginya kebutuhan masyarakat, kebijakan yang menyentuh aspek kesejahteraan publik akan lebih diterima dibandingkan penguatan simbol status,” katanya.
Ia menambahkan, penggunaan BPO yang efektif untuk koordinasi lintas instansi, penanganan kerawanan sosial, atau penguatan pelayanan publik dapat memperkuat legitimasi politik kepala daerah. Sebaliknya, penggunaan yang tidak jelas akan menimbulkan persepsi negatif dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Sensitivitas Sosial di Daerah Rentan
Dari sisi sosial, GIPS menilai bahwa kebijakan BPO perlu mempertimbangkan sensitivitas publik di daerah dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi.
Masyarakat Garut, kata Ade, masih menaruh harapan besar terhadap pemerintahan yang sederhana, terbuka, dan berpihak kepada kebutuhan dasar.
“Keadilan publik tidak hanya diukur dari aturan, tapi dari rasa proporsionalitas. Kalau pelayanan publik masih terbatas, sementara fasilitas pejabat meningkat, wajar bila masyarakat mempertanyakan prioritas pemerintah,” ujar Ade.
Ia mengingatkan bahwa persepsi publik yang negatif dapat menggerus legitimasi kepemimpinan daerah jika tidak diimbangi dengan komunikasi dan transparansi yang memadai.
Akuntabilitas Sebagai Tolok Ukur
Aspek akuntabilitas menjadi fokus utama sorotan GIPS. Menurut Ade, setiap penggunaan dana publik, termasuk BPO, wajib disertai laporan terbuka yang dapat diakses masyarakat.
Langkah tersebut tidak hanya untuk memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi juga untuk memperkuat kepercayaan antara pemerintah dan warga.
“BPO adalah dana publik, bukan dana pribadi pejabat. Maka, laporan penggunaan dan capaian hasilnya perlu dipublikasikan secara berkala. Transparansi bukan ancaman, melainkan sumber legitimasi,” tegasnya.
Ia mendorong Pemerintah Kabupaten Garut untuk membuka data resmi mengenai besaran BPO tahun berjalan dan rencana penggunaannya untuk tahun anggaran berikutnya.
Tiga Rekomendasi GIPS
Sebagai lembaga pemantau kebijakan publik, GIPS mengajukan tiga rekomendasi konstruktif kepada Pemerintah Kabupaten Garut:
1. Transparansi anggaran dan pelaporan periodik atas BPO secara terbuka kepada publik.
2. Penguatan fungsi pengawasan DPRD dan Inspektorat Daerah untuk memastikan penggunaan BPO sesuai tujuan strategis.
3. Reorientasi fungsi BPO menjadi Dana Operasional Strategis Kepala Daerah (DOS-KD) yang diarahkan pada kegiatan lintas sektor, seperti penanggulangan kemiskinan, mitigasi sosial, dan inovasi pelayanan publik.
“Kebijakan publik yang efektif adalah yang berdampak langsung bagi masyarakat. Jika BPO dikelola dengan prinsip transparansi dan kebermanfaatan, masyarakat tidak akan mempermasalahkannya,” kata Ade.
Menafsirkan Keadilan dalam Anggaran
GIPS menutup pernyataannya dengan seruan moral agar kebijakan fiskal daerah tidak kehilangan arah nilai.
Menurut Ade, kepemimpinan daerah tidak hanya diukur dari kemampuan mengelola anggaran, tetapi juga dari keberanian menafsirkan keadilan di balik angka-angka fiskal.
“Garut membutuhkan pemimpin yang bukan hanya patuh pada regulasi, tetapi juga peka terhadap rasa keadilan publik. Transparansi dan kesederhanaan dalam kebijakan fiskal adalah bentuk nyata dari keberpihakan kepada rakyat,” pungkasnya.
Hendy