Indragiri Hilir, TribunCakranews.com — Dugaan mega skandal agraria kembali mencuat di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau. Kali ini menyeret PT. Riau Sakti Trans Mandiri (RSTM), entitas utama dari konglomerasi Sambu Grup, yang dituding telah secara ilegal mengelola lahan seluas 1.600 hektare sejak tahun 2018 tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Lebih mencengangkan lagi, aparat penegak hukum dari Kejaksaan Negeri Tembilahan justru diduga “tutup mata” dan membiarkan praktik ini terus berlangsung.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan tim meynewsreport.com, lahan yang sudah tujuh tahun terakhir dikelola secara intensif oleh perusahaan ini ternyata berada di wilayah desa Kecamatan Pulau Burung, dengan aktivitas pembuatan kanal, pembibitan kelapa tetap berlangsung di lahan tersebut. Yang lebih parah lagi, ada lahan yang telah dinyatakan sebagai kawasan hutan tetap dibersihkan dan dipanen, padahal ketika dikonfirmasi, Arief Aria Rachman, Humas Sambu Grup, memberikan keterangan melalui pesan WhatsApp pada tanggal 7 Juli 2025, menyatakan:
“Lahan tersebut bukan milik Sambu Group dan afiliasinya, berdasar info kami dari petugas di lapangan dan sudah tervalidasi. Untuk di RSUP, RSTM, dan GHS, areal yang masuk kawasan hutan sudah bukan dalam HGU kami. Kalaupun itu dipanen, lokasi tersebut bersinggungan dengan masyarakat dan bukan milik kami.”
Namun fakta lapangan berkata lain. Perkebunan tetap dipanen aktif, bahkan terlihat pekerja menggunakan peralatan milik perusahaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: “Jika bukan milik Sambu Grup, siapa yang panen dan siapa yang menikmati hasilnya?”
Tak hanya itu, masyarakat juga menyoroti sikap Kejaksaan Negeri Tembilahan yang dianggap membiarkan pelanggaran terus terjadi. Meskipun plang PKH sudah terpasang, namun tidak ada tindakan tegas, bahkan disebutkan bahwa pihak kejaksaan menggelar rapat tertutup dengan pihak perusahaan, bukan melakukan penyelidikan atau penyegelan lahan.
Menanggapi kekacauan ini, Wilson Lalengke S.Pd. M.Sc., M.A., Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) mengeluarkan pernyataan keras. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk nyata perampasan ruang hidup rakyat dan pembangkangan terhadap hukum negara. Jika aparat penegak hukum seperti Kejaksaan mulai memihak korporasi yang merampas hak masyarakat, maka kita sedang menyaksikan bentuk oligarki lokal,” tegas Wilson, Alumni Lemhannas RI yang juga dikenal sebagai pejuang kebebasan pers.
Wilson menambahkan, PPWI meminta Kejaksaan Agung RI untuk turun tangan dan memeriksa Kejari Tembilahan. "Jangan sampai institusi yang seharusnya menegakkan hukum malah menjadi perisai para perampok tanah rakyat,” lanjutnya.
Berikut dugaan pelanggaran yang di temui oleh awak media:
1. Sekitar 1.600 hektar lahan di salah satu desa yang ada di Kecamatan Pulau Burung dikelola PT. RSTM diduga tanpa HGU sejak tahun 2018.
2. Plang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sudah terpasang di lokasi, menandakan kawasan tersebut termasuk kawasan hutan lindung, setelah awak media telusuri, RSTM diduga tidak memiliki HGU, namun mereka tetap beraktifitas dan memanen lahan tersebut
3. Pihak Humas Sambu Grup menyangkal kepemilikan, namun tidak mampu menjelaskan siapa yang melakukan panen secara aktual.
Kejaksaan Negeri Tembilahan tidak bertindak tegas, bahkan terindikasi mengapresiasi perusahaan dengan mengundang rapat internal, bukan proses hukum, padahal hasil temuan awak media mereka diduga tidak memiliki HGU. “Kalau korporasi besar bisa bebas mengelola kawasan hutan tanpa HGU dan justru tidak diamankan oleh penegak hukum, maka negara ini sedang menuju keruntuhan prinsip keadilan,” tambahnya.
PPWI akan menyurati Kejagung untuk memeriksa Kejari Inhil. Karena berdasarkan informasi dari Dion Ketua DPC PPWI DKI pihak Kejagung telah mengeluarkan pernyataan, "Jika sudah ada plang segel PKH atas nama negara, maka secara hukum aktivitas tidak diperbolehkan."
(M/Tim)