Semarang, TribunCakranews.com — Rapat kerja Komisi C DPRD Provinsi Jawa Tengah bersama PT Jateng Agro Berdikari (Perseroda) menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan. Pasalnya, meskipun perusahaan pelat merah tersebut mengusulkan penyertaan modal senilai Rp15 miliar dari APBD 2025, proyeksi dividen yang disetor ke Pemprov dinilai tidak sebanding dan menunjukkan tren stagnan selama lima tahun ke depan.
Dari dokumen yang dipaparkan dalam rapat, laba bersih PT JTAB memang diproyeksikan meningkat dari Rp7,5 miliar pada 2025 menjadi Rp10,8 miliar pada 2030. Namun, dividen yang disetor kepada pemerintah hanya berkisar di angka Rp4,1 hingga Rp5,1 miliar sepanjang periode RPJMD 2025–2030. Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait efisiensi dan dampak konkret dari penyertaan modal yang begitu besar di awal periode.
Yang lebih disorot, penyertaan modal senilai Rp15 miliar hanya dilakukan pada tahun 2025 dan tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya, tanpa penjelasan detail mengenai mekanisme evaluasi keberhasilan investasi tersebut.
Dana tersebut dirinci untuk keperluan modal kerja ketahanan pangan (Rp10 miliar), pengepakan minyak goreng (Rp3 miliar), dan pengelolaan hasil pangan serta hortikultura (Rp2 miliar). Namun, tidak ada parameter kinerja yang jelas maupun jaminan pengembalian nilai ekonomi secara proporsional.
"Ini seperti menyerahkan cek kosong DPRD seharusnya tidak hanya menyetujui begitu saja penyertaan modal, tetapi juga memastikan ada mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang ketat.” ujar seorang pengamat kebijakan publik yang enggan disebutkan namanya.
Lebih lanjut, PT JTAB berencana mengalihkan core bisnis dari aneka usaha ke bidang pangan. Langkah ini justru membuka potensi kegagalan jika tidak didukung keahlian dan kesiapan internal. Bahkan, unit-unit usaha di luar bidang pangan masih belum memiliki skema pelepasan yang pasti, dan perusahaan mengakui masih berkoordinasi dengan Biro Perekonomian.
Investasi besar-besaran juga dibarengi dengan risiko pengeluaran kas yang tinggi, termasuk pembiayaan rest area dan pelepasan hak atas tanah di Tawangmangu. Hal ini justru membebani struktur keuangan perusahaan yang sedang mencoba bertransformasi.
Dalam konteks ini, Komisi C DPRD Jateng dinilai terlalu pasif dan tidak menunjukkan sikap kritis dalam menggali dampak jangka panjang terhadap fiskal daerah. Minimnya pertanyaan terhadap efektivitas bisnis dan tidak adanya penekanan terhadap evaluasi berkala membuat proses penganggaran terkesan normatif dan administratif belaka.
Transparansi dan tata kelola PT JTAB kini menjadi sorotan, dan masyarakat berharap DPRD tidak hanya bertindak sebagai lembaga formalitas, tetapi menjalankan fungsi pengawasan secara menyeluruh terhadap BUMD yang dibiayai uang rakyat.
(*)