Belawan, TribunCakranews.com // Di sebuah sudut utara Kota Medan, terhampar sebuah pelabuhan yang pernah menjadi jantung ekonomi Sumatera Utara—Belawan. Dulu, kapal-kapal asing bersandar di pelabuhan ini membawa serta harapan dan mata pencaharian. Anak-anak berlarian di gang-gang sempit sambil menyanyikan lagu-lagu nelayan. Tukang becak tersenyum walau lelah, dan para ibu menjemur ikan asin sembari bercengkerama dalam tawa.
Belawan adalah kehidupan. Belawan adalah denyut. Belawan adalah rumah.
Namun kini, seperti rumah yang kehilangan tuannya, Belawan menangis dalam diam. Kota kecil ini seolah ditinggalkan oleh sejarah yang pernah menjadikannya megah. Di sudut-sudut jalan, bukan lagi canda tawa anak-anak yang terdengar, melainkan suara dentuman batu, jeritan tawuran, dan deru sepeda motor para begal yang menyelinap di malam hari. Di kolong rumah panggung, bukan lagi suara ombak yang menenangkan, melainkan suara rintihan dari mereka yang terjerat narkoba dan kehilangan masa depan.
Belawan telah berubah. Drastis. Tragis.
Sebagai putra asli kelahiran Belawan, dada ini sesak saat menyusuri lorong-lorong tempat saya dulu bermain. Saya mengenal setiap tikungan, setiap senyuman tua di warung kopi, setiap perahu kayu yang bersandar lesu menunggu muatan. Kini, semuanya seperti kenangan yang perlahan pudar, digerus oleh kekerasan dan keputusasaan.
Apakah kita tinggal diam?
Apakah kita akan membiarkan generasi penerus Belawan tumbuh di antara pecahan botol tawuran, di antara napas terengah pemuda yang kecanduan putauw? Di mana suara para pemimpin? Di mana langkah tegas pemerintah daerah yang kantornya berdiri megah di atas tanah yang sama—tanah yang kini terluka?
Camat, lurah, kepling, aparat kepolisian, TNI, hingga jaksa—semua hadir di Belawan. Namun apakah mereka benar-benar hadir dalam arti yang sesungguhnya? Kehadiran yang menyentuh hati rakyat, bukan hanya sebagai simbol kekuasaan? Belawan bukan hanya butuh pengawasan. Ia butuh kasih sayang. Ia butuh perhatian yang tulus. Ia butuh tangan yang mengangkatnya dari lumpur, bukan hanya suara yang menyalahkan.
Saya tak hendak mencari kambing hitam. Tapi mari kita buka mata. Jangan-jangan semua ini adalah skenario. Skenario yang dimainkan oleh mereka yang menjadikan kekacauan sebagai ladang keuntungan. Mungkinkah ada pihak yang menikmati Belawan yang hancur? Yang membiarkan narkoba mengalir seperti air pasang di gang-gang sempit? Yang membiarkan remaja saling membunuh hanya karena beda wilayah?
Air mata ini jatuh bukan karena lemah. Tapi karena cinta. Cinta pada kampung halaman yang kini dipandang hina. Cinta pada nama Belawan yang dulunya harum, kini menjadi pertanyaan sinis saat kami sebutkan sebagai asal kami.
Pernah, saat saya bekerja di luar kota, seseorang bertanya, “Belawan ya? Banyak begal di sana, ya?” Saya hanya tersenyum. Tapi hati ini perih. Tak semua dari kami begitu. Kami pun punya cita-cita. Kami pun ingin hidup damai. Kami pun punya anak-anak yang ingin sekolah, bermain, tumbuh menjadi orang berguna bagi bangsa.
Kini, saatnya kita bangkit. Bukan dengan emosi, tapi dengan empati. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan pendidikan dan kesempatan. Mari kita rebut kembali Belawan dari genggaman gelap para perusak masa depan. Mari kita bangun ruang-ruang aman bagi anak-anak untuk belajar dan bermain. Mari kita perkuat ekonomi lokal, bantu nelayan, berdayakan ibu rumah tangga, dan hidupkan kembali semangat gotong royong yang dulu menjadi napas Belawan.
Hapuskan sekat ras, suku, agama, dan golongan. Karena Belawan adalah kita semua. Jika satu saja pemuda Belawan terselamatkan dari narkoba, itu sudah kemenangan besar. Jika satu saja keluarga keluar dari kemiskinan karena kita peduli, itu sudah langkah perubahan.
Belawan bukan cerita kelam. Ia hanya sedang terluka. Mari kita rawat lukanya, dengan cinta, keberanian, dan harapan.**

