Bali, Tribunacakranews. com – Kepercayaan masyarakat terhadap hukum kembali diguncang. Proses eksekusi lahan yang dilakukan di Banjar Dinas Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, dinilai cacat prosedur dan mengabaikan fakta lapangan. Keluarga besar almarhum I Ketut Rundung menjerit, merasa keadilan dipermainkan dan tanah warisan leluhur mereka direbut atas dasar peta yang keliru.
Mereka mengadukan hal ini kepada Senator DPD RI asal Bali, I Komang Merta Jiwa, karena merasa tidak mendapatkan perlindungan dari institusi hukum. SPPT PBB yang sah atas nama I Ketut Rundung dengan NOP: 51.07.051.012.014.0114.0 dan luas 7.992 m², justru dibatalkan secara sepihak oleh BPKAD Karangasem, meskipun telah ada pengakuan dari Kepala Dusun, Kepala Desa, dan Camat bahwa objek tanah tersebut berbeda lokasi dengan milik pihak yang mengklaim.
“Peta blok itu jelas tidak sesuai! Tanah kami bentuknya segi empat memanjang, bukan berbentuk kapak seperti tanah yang diklaim I Ramia,” tegas I Nengah Suwenten, anak almarhum I Ketut Rundung.
Ironis, pengadilan justru mengesahkan eksekusi berdasarkan peta blok yang kontroversial tanpa verifikasi objektif di lapangan. Keluarga I Ketut Rundung menilai langkah pengadilan ini sebagai bentuk ketidakadilan yang mencederai nilai kemanusiaan dan meruntuhkan kepercayaan terhadap lembaga hukum.
“Kami tidak diberi ruang pembelaan yang adil. Saat kami minta pengukuran ulang dari BPN, kami diadang aparat bersenjata yang mendampingi pihak lawan,” lanjut Suwenten.
Tanah yang disengketakan memiliki nilai historis tinggi karena telah ditempati sejak tahun 1916 oleh leluhur mereka, I Sarwa. Keturunannya kini tengah menghadapi ancaman kehilangan hak atas tanah itu karena lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan eksekusi oleh pengadilan.
Praktik ini mengindikasikan ada potensi permainan mafia tanah yang memanfaatkan celah hukum dan kelemahan administrasi pemerintah. Warga menduga kuat bahwa proses eksekusi ini dilakukan tanpa memperhatikan kondisi riil di lapangan, hanya berpaku pada dokumen yang diragukan validitasnya.
Dalam pernyataannya, I Nyoman Kantun Suyasa, SH., salah satu kuasa hukum keluarga I Ketut Rundung, mendesak agar Pengadilan Negeri Amlapura menangani perkara ini dengan transparan dan terbuka kepada publik. Ia menegaskan, “Pengadilan tidak bisa hanya berdalih menjalankan putusan. Harus ada rasa keadilan dan kemanusiaan. Kasus ini jelas memperlihatkan adanya perbedaan fisik tanah antara yang disebut dalam peta dengan tanah yang ditempati para termohon eksekusi.”
Ia menambahkan bahwa rasa keadilan rakyat telah tercabik-cabik. “Jika pengadilan tidak mampu menjaga prinsip keadilan substantif, maka putusan hukum justru berubah menjadi alat penindasan,” tegasnya.
Surat Kuasa Bantahan Eksekusi pun telah dilayangkan oleh keluarga besar I Ketut Rundung, dengan menunjuk kantor hukum D'MANTARA & PARTNERS untuk melakukan perlawanan hukum terhadap Penetapan Ketua PN Amlapura No. 7/Pdt.Eks/2024/PN.Amp jo. Putusan PN Amlapura No. 66/Pdt.G/2020/PN.Amp. Para penerima kuasa telah diberi mandat penuh untuk membawa perkara ini hingga tuntas.
Masyarakat Bali kini menyoroti integritas dan netralitas lembaga peradilan. Mereka meminta Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung melakukan investigasi menyeluruh terhadap proses eksekusi ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi rakyat kecil yang tengah mempertahankan hak warisnya.
“Ini bukan hanya perkara tanah. Ini perkara martabat, sejarah, dan keadilan rakyat!” seru salah satu tokoh adat setempat.
Marno