Garut, Tribuncakranews.com - Pendidikan sebagai hak fundamental setiap warga negara harus dikelola dengan transparansi, akuntabilitas, dan legalitas. Namun, situasi di Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, menunjukkan indikasi ketidakterbukaan sejumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) terhadap awak media. Sejumlah pengelola lembaga pendidikan nonformal ini sulit ditemui dan terkesan menghindari wawancara terkait pelaksanaan program pendidikan kesetaraan. Sabtu, 22-03-2025
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Kecamatan Bungbulang memiliki 20 PKBM yang menaungi 2.476 peserta didik, 121 rombongan belajar, 45 guru, 18 tenaga kependidikan, dan 79 ruang kelas.
Penilik Kesetaraan Kecamatan Bungbulang, Gun Gun Supyan Anwar, S.Ag., S.Pd., M.M.Pd., mengungkapkan bahwa perubahan regulasi pendidikan nonformal sejak Januari 2024 telah membawa konsekuensi bagi PKBM. Kini, PKBM diwajibkan memiliki kantor tetap, sistem administrasi yang jelas, serta mekanisme ujian yang lebih terkontrol.
Namun, dalam praktiknya, banyak PKBM baru bermunculan seiring dengan adanya dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP), yang memunculkan indikasi penyalahgunaan Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Gun Gun menegaskan bahwa beberapa PKBM di wilayahnya tidak memenuhi standar minimal penyelenggaraan pendidikan, baik dari segi jumlah peserta didik, metode pembelajaran, maupun fasilitas.
“Saya telah melaporkan kondisi ini secara resmi ke Kasi dan Kabid Dinas Pendidikan. Jika ada lembaga yang tidak dapat dibina sesuai aturan, izinnya seharusnya dicabut, sebagaimana diatur dalam surat edaran yang berlaku,” tegasnya.
Berdasarkan investigasi di lapangan, beberapa PKBM di Kecamatan Bungbulang seperti PKBM Bina Warga, PKBM Gunung Jampang, PKBM Baitul Wahyudin Bungbulang, PKBM Nijamiyatul Huda, PKBM Rama Jari, dan PKBM Kandangwesi sulit ditemui dan dihubungi. Bahkan, ketika awak media mencoba mengonfirmasi keberadaan pengelola, tidak ada respons yang jelas.
Gun Gun juga mengungkapkan bahwa dalam hasil monitoring, hanya beberapa PKBM yang benar-benar melaksanakan proses pembelajaran. Menariknya, jumlah peserta didik yang hadir dalam sesi pembelajaran tidak lebih dari 30 orang, meskipun data administrasi menunjukkan jumlah siswa mencapai ratusan.
“Saya ingin memastikan apakah pembelajarannya sesuai standar formal atau tidak, serta memiliki data dokumen yang valid. Jika jumlah peserta didik yang hadir sangat jauh dari data yang terdaftar, ada kemungkinan manipulasi Dapodik untuk kepentingan pencairan dana,” ujarnya.
Lebih lanjut, hasil investigasi di lapangan menemukan bahwa beberapa PKBM tidak memiliki fasilitas yang layak sebagai lembaga pendidikan. Salah satunya adalah PKBM Catra Kandangwesi KS Fauzi Nur Fatah, yang beroperasi di sebuah rumah tanpa plang resmi. Yang memunculkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan kredibilitas penyelenggaraan pendidikan nonformal di wilayah tersebut.
Menurut Gun Gun, peran Penilik Kesetaraan dalam mengawasi PKBM saat ini cenderung dibatasi dan seringkali dipandang sebelah mata oleh pengelola PKBM. Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Garut melalui Kasi telah membentuk Rayon PKBM yang diketuai oleh Asep Munawar, tetapi hingga kini komunikasi antara penilik dan Rayon masih belum optimal akibat keterbatasan kontak.
Kondisi ini menimbulkan persoalan serius dalam pengawasan PKBM, terutama dalam memastikan bahwa dana BOSP benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan, bukan disalahgunakan.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, penyelenggaraan pendidikan nonformal yang tidak sesuai dengan regulasi dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi. Jika terbukti ada unsur kesengajaan dalam manipulasi data peserta didik untuk pencairan dana BOSP, maka dapat masuk dalam ranah tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak terkait, terutama Dinas Pendidikan Kabupaten Garut dan Aparat Penegak Hukum (APH). Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh PKBM di Kecamatan Bungbulang menjadi langkah mendesak guna memastikan bahwa hak atas pendidikan yang layak tetap terjamin dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
(Red/ Ags )